Tugas PKN: X IIS 2 Kelompok 5 (21-24)
Biografi Muhammad Yamin
Mohammad
Yamin dilahirkan di Talawi, Sawahlunto pada 24 Agustus 1903. Ia merupakan putra
dari pasangan Usman Baginda Khatib dan Siti Saadah yang masing-masing berasal
dari Sawahlunto dan Padang Panjang. Ayahnya memiliki enam belas anak dari lima
istri, yang hampir keseluruhannya kelak menjadi intelektual yang berpengaruh.
Saudara-saudara Yamin antara lain : Muhammad Yaman, seorang pendidik;
Djamaluddin Adinegoro, seorang wartawan terkemuka; dan Ramana Usman, pelopor
korps diplomatik Indonesia. Selain itu sepupunya, Mohammad Amir, juga merupakan
tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia.
Yamin
mendapatkan pendidikan dasarnya di Hollandsch-Inlandsche School (HIS)
Palembang, kemudian melanjutkannya ke Algemeene Middelbare School (AMS)
Yogyakarta. Di AMS Yogyakarta, ia mulai mempelajari sejarah purbakala dan
berbagai bahasa seperti Yunani, Latin, dan Kaei. Namun setelah tamat, niat
untuk melanjutkan pendidikan ke Leiden, Belanda harus diurungnya dikarenakan
ayahnya meninggal dunia. Ia kemudian menjalani kuliah di Rechtshoogeschool te
Batavia (Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta, yang kelak menjadi Fakultas Hukum
Universitas Indonesia), dan berhasil memperoleh gelar Meester in de Rechten
(Sarjana Hukum) pada tahun 1932.
Pada tahun 1937, Mohammad Yamin menikah dengan
Siti Sundari, putri seorang bangsawan dari Kadingalu, Demak, Jawa Tengah.
Mereka dikaruniai satu orang putra, Dang Rahadian Sinayangish Yamin. Pada tahun
1969, Dian melangsungkan pernikahan dengan Gusti Raden Ayu Retno Satuti, putri
tertua dari Mangkunegoro VIII.
Karier
politik Yamin dimulai ketika ia masih menjadi mahasiswa di Jakarta. Ketika itu
ia bergabung dalam organisasi Jong Sumatranen Bond dan menyusun ikrah Sumpah
Pemuda yang dibacakan pada Kongres Pemuda II. Dalam ikrar tersebut, ia
menetapkan Bahasa Indonesia, yang berasal dari Bahasa Melayu, sebagai bahasa
nasional Indonesia. Melalui organisasi Indonesia Muda, Yamin mendesak supaya
Bahasa Indonesia dijadikan sebagai alat persatuan. Kemudian setelah
kemerdekaan, Bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi serta bahasa utama dalam
kesusasteraan Indonesia.
Pada
tahun 1932, Yamin memperoleh gelar sarjana hukum. Ia kemudian bekerja dalam
bidang hukum di Jakarta hingga tahun 1942. Pada tahun yang sama, Yamin tercatat
sebagai anggota Partindo. Setelah Partindo bubar, bersama Adenan Kapau Gani dan
Amir Sjarifoeddin, ia mendirikan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo). Tahun
1939, ia terpilih sebagai anggota Volksraad.
Semasa
pendudukan Jepang (1942-1945), Yamin bertugas pada Pusat Tenaga Rakyat
(PUTERA), sebuah organisasi nasionalis yang disokong oleh pemerintah Jepang.
Pada tahun 1945, ia terpilih sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dalam sidang BPUPKI, Yamin banyak memainkan
peran. Ia berpendapat agar hak asasi manusia dimasukkan ke dalam konstitusi negara.
Ia juga mengusulkan agar wilayah Indonesia pasca-kemerdekaan, mencakup Sarawak,
Sabah, Semenanjung Malaya, Timor Portugis, serta semua wilayah Hindia Belanda.
Soekarno yang juga merupakan anggota BPUPKI menyokong ide Yamin tersebut.
Setelah kemerdekaan, Soekarno menjadi Presiden Republik Indonesia yang pertama,
dan Yamin dilantik untuk jabatan-jabatan yang penting dalam pemerintahannya.
Setelah
kemerdekaan, jabatan-jabatan yang pernah dipangku Yamin antara lain anggota DPR
sejak tahun 1950, Menteri Kehakiman (1951-1952), Menteri Pengajaran,
Pendidikan, dan Kebudayaan (1953–1955), Menteri Urusan Sosial dan Budaya
(1959-1960), Ketua Dewan Perancang Nasional (1962), Ketua Dewan Pengawas IKBN
Antara (1961–1962) dan Menteri Penerangan (1962-1963).
Pada
saat menjabat sebagai Menteri Kehakiman, Yamin membebaskan tahanan politik yang
dipenjara tanpa proses pengadilan. Tanpa grasi dan remisi, ia mengeluarkan 950
orang tahanan yang dicap komunis atau sosialis. Atas kebijakannya itu, ia
dikritik oleh banyak anggota DPR. Namun Yamin berani bertanggung jawab atas
tindakannya tersebut. Kemudian disaat menjabat Menteri Pengajaran, Pendidikan,
dan Kebudayaan, Yamin banyak mendorong pendirian univesitas-universitas negeri
dan swasta di seluruh Indonesia. Diantara perguruan tinggi yang ia dirikan
adalah Universitas Andalas di Padang, Sumatera Barat.
Dari riwayat pendidikannya dan dari
keterlibatannya dalam organisasi politik maupun perjuangan kemerdekaan,
tampaklah bahwa Yamin termasuk seorang yang berwawasan luas. Walaupun
pendidikannya pendidikan Barat, ia tidak pernah menerima mentah-mentah apa yang
diperolehnya itu sehingga ia tidak menjadi kebarat-baratan. Ia tetap membawakan
nasionalisme dan rasa cinta tanah air dalam karya-karyanya. Barangkali halini
merupakan pengaruh lingkungan keluarganya karena ayah ibu Yamin adalah
keturunan kepala adat di Minangkabau. Ketika kecil pun, Yamin oleh orang tuanya
diberi pendidikan adat dan agama hingga tahun 1914. Dengan demikian, dapat
dipahami apabila Yamin tidak terhanyut begitu saja oleh hal-hal yang pernah
diterimanya, baik itu berupa karya-karya sastra Barat yang pernah dinikmatinya
maupun sistem pendidikan Barat yang pernah dialaminya.
Umar Junus dalam bukunya Perkembangan Puisi Indonesia dan Melayu Modern (1981) menyatakan bahwa puisi Yamin terasa masih berkisah, bahkan bentul-betul terasa sebagai sebuah kisah. Dengan demikian, puisi Yamin memang dekat sekali dengan syair yang memang merupakan puisi untuk mengisahkan sesuatu.”Puisi Yamin itu dapat dirasakan sebagai syair dalam bentuk yang bukan syair”, demikian Umar Junus. Karena itu, sajak-sajak Yamin dapat dikatakan lebih merupakan suatu pembaruan syair daripada suatu bentuk puisi baru. Akan tetapi, pada puisi Yamin seringkali bagian pertamanya merupakan lukisan alam, yang membawa pembaca kepada suasana pantun sehingga puisi Yamin tidak dapat dianggap sebagai syair baru begitu saja. Umar Junus menduga bahwa dalam penulisan sajak-sajaknya, Yamin menggunakan pantun, syair, dan puisi Barat sebagai sumber. Perpaduan ketiga bentuk itu adalah hal umum terjadi terjadi pada awal perkembangan puisi modern di Indonesia.
Jika Umar Junus melihat adanya kedekatan untuk soneta yang dipergunakan Yamin dengan bentuk pantun dan syair, sebetulnya hal itu tidak dapat dipisahkan dari tradisi sastra yang melingkungi Yamin pada waktu masih amat dipengaruhi pantun dan syair. Soneta yang dikenal Yamin melalui kesusastraan Belanda ternyata hanya menyentuh Yamin pada segi isi dan semangatnya saja. Karena itu, Junus menangkap kesan berkisah dari sajak-sajak Yamin itu terpancar sifat melankolik, yang kebetulan merupakan sifat dan pembawaan soneta. Sifat soneta yang melankolik dan kecenderungan berkisah yang terdapat didalamnya tidak berbeda jauh dengan yang terdapat dalam pantun dan syair. Dua hal yang disebut terakhir, yakni sifat melankolik dan kecenderungan berkisah, kebetulan sesuai untuk gejolak perasaan Yamin pada masa remajanya. Karena itu, soneta yang baru saja dikenal Yamin dan yang kemudian digunakannya sebagai bentuk pengungkapan estetiknyha mengesankan bukan bentuk soneta yang murni.
Umar Junus dalam bukunya Perkembangan Puisi Indonesia dan Melayu Modern (1981) menyatakan bahwa puisi Yamin terasa masih berkisah, bahkan bentul-betul terasa sebagai sebuah kisah. Dengan demikian, puisi Yamin memang dekat sekali dengan syair yang memang merupakan puisi untuk mengisahkan sesuatu.”Puisi Yamin itu dapat dirasakan sebagai syair dalam bentuk yang bukan syair”, demikian Umar Junus. Karena itu, sajak-sajak Yamin dapat dikatakan lebih merupakan suatu pembaruan syair daripada suatu bentuk puisi baru. Akan tetapi, pada puisi Yamin seringkali bagian pertamanya merupakan lukisan alam, yang membawa pembaca kepada suasana pantun sehingga puisi Yamin tidak dapat dianggap sebagai syair baru begitu saja. Umar Junus menduga bahwa dalam penulisan sajak-sajaknya, Yamin menggunakan pantun, syair, dan puisi Barat sebagai sumber. Perpaduan ketiga bentuk itu adalah hal umum terjadi terjadi pada awal perkembangan puisi modern di Indonesia.
Jika Umar Junus melihat adanya kedekatan untuk soneta yang dipergunakan Yamin dengan bentuk pantun dan syair, sebetulnya hal itu tidak dapat dipisahkan dari tradisi sastra yang melingkungi Yamin pada waktu masih amat dipengaruhi pantun dan syair. Soneta yang dikenal Yamin melalui kesusastraan Belanda ternyata hanya menyentuh Yamin pada segi isi dan semangatnya saja. Karena itu, Junus menangkap kesan berkisah dari sajak-sajak Yamin itu terpancar sifat melankolik, yang kebetulan merupakan sifat dan pembawaan soneta. Sifat soneta yang melankolik dan kecenderungan berkisah yang terdapat didalamnya tidak berbeda jauh dengan yang terdapat dalam pantun dan syair. Dua hal yang disebut terakhir, yakni sifat melankolik dan kecenderungan berkisah, kebetulan sesuai untuk gejolak perasaan Yamin pada masa remajanya. Karena itu, soneta yang baru saja dikenal Yamin dan yang kemudian digunakannya sebagai bentuk pengungkapan estetiknyha mengesankan bukan bentuk soneta yang murni.
Karya
- Karyanya
1.Tanah
Air (puisi), 1922
Indonesia,
2.Tumpah
Darahku, 1928
3,Kalau
Dewa Tara Sudah Berkata (drama), 1932
4.Ken
Arok dan Ken Dedes (drama), 1934
5.Sedjarah
Peperangan Dipanegara, 1945
6.Tan
Malaka, 1945
7.Gadjah
Mada (novel), 1948
8.Sapta
Dharma, 1950
9.Revolusi
Amerika, 1951
10.Proklamasi
dan Konstitusi Republik Indonesia, 1951
11.Kebudayaan
Asia-Afrika, 1955
12.Konstitusi
Indonesia dalam Gelanggang Demokrasi, 1956
13.6000
Tahun Sang Merah Putih, 1958
14.Naskah
Persiapan Undang-undang Dasar, 1960, 3 jilid
15.Ketatanegaraan
Madjapahit, 7 jilid
Penghargaan yang diperolehnya:
1.Bintang Mahaputra RI, tanda penghargaan tertinggi dari
Presiden RI atas jasa-jasanya pada nusa dan bangsa.
2.Tanda penghargaan dari Corps Polisi Militer sebagai
pencipta lambang Gajah Mada dan Panca Darma Corps.
3.Tanda penghargaan Panglima Kostrad atas jasanya
menciptakan Pataka Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat.
Muhammad Yamin
meninggal pada tanggal 17 Oktober 1962. Ia wafat di Jakarta dan dimakamkan di
desa Talawi, Kabupaten Sawahlunto, Sumatera Barat. Ia meninggal ketika ia
menjabat sebagai Menteri Penerangan. M. Yamin dianugerahi gelar pahlawanan
nasional pada tahun 1973 sesuai dengan SK Presiden RI No. 088/TK/1973.
Poin 7
ReplyDelete