Menunggangi Burung Besi - Cerpen
Suara bising itu terdengar dari luar “Swiiing...”
Aku yang sedang bermain sepak bola bersama Ayah hanya melihatnya dari bawah
dengan takjub sambil menunjuk “Yah, liat ada burung, gede banget! Tapi kok
sayapnya gak mengepak ya? Kok kicauannya suara mesin gitu sih?” Teriak ku
dengan kegirangan sambil memegang tangan Ayah.
Ayah ku begitu senang melihat tingkah ku yang begitu
polos. Sering aku bertanya mengenai hal itu, ayah ku hanya menjawab “Itu
pesawat nak” Seru ayah ku sambil tersenyum. Suara itu menarik perhatian ku, dan
menatap langit biru yang membiarkan burung itu terbang. Aneh, untuk apa manusia
menciptakan itu. Aku yang sangat polos dan minim pengetahuan hanya bertanya
seorang diri tanpa ada jawaban.
Maklum, aku hanya lah seorang anak pedesaan yang
hidup dibawah garis kemiskinan. Keterbatasan ekonomi membuat semua aktifitas ku
terbatas, untuk memenuhi kebutuhan hidup hanya bisa terpenuhi untuk hari ini.
Tanpa pernah keluarga ku menabung untuk jangka waktu panjang. Profesi Ayah yang
hanya seorang petani, kadang tak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Ibu
yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga lumayan membantu beban keluarga ku
untuk memenuhi kebutuhan.
Aku duduk di kelas 4 SD, sekolah ku juga sangat
terbatas. Karena lingkungan kami pun juga terpelosok dan sulit untuk mendapat
bantuan pemerintah. Namun itu bukan lah alasan bagi ku untuk tidak bersekolah.
Karena aku bertekad untuk memperbaiki perekonomian keluarga ku yang serba
kekurangan dengan bersungguh-sungguh menuntut ilmu.
Sahabat ku Rohim dan Dodi, mereka adalah teman ku
yang sangat aku sayangi. Aku dan mereka bersahabat sedari kecil. Kami sering
memperdebatkan mengenai maksud dan tujuan dibuatnya pesawat itu.
Rohim mengatakan “pesawat itu burung yang
bereingkarnasi”, padahal Rohim pun tak tahu apa arti kata reingkarnasi. Kami
yang mendengar hanya manggut tanpa tahu apa maksudnya.
Sedangkan Dodi mengatakan “pesawat itu kendaraan
terbang yang membawa penumpang”, aku setuju apa yang dikatakan oleh Dodi. Karna
tak mungkin dibuat tanpa ada tujuannya.
Kami memang suka berkhayal akan sesuatu, bukan
karena kami anak yang kurang berada kami tetap terkekang. Sore hari seperti ini
justru memunculkan suatu harapan kami. Mulai dari Rohim yang menginginkan
sebagai peternak Kuda, Dodi yang menginginkan menjadi seorang juragan Ikan Lele
dikampung. Sedangkan aku hanya terdiam saja ketika kedua teman ku ini berkhayal
dan menentukan cita-citanya.
“Jar, cita-cita lo mau jadi apa? Selama ini lo gak
pernah ngomong apa-apa ke kita? Cerita dong” Tanya Dodi yang sambil membenarkan
posisi tidurnya.
Aku hanya terdiam dan menatap langit, membayangkan
seekor burung yang terbang bebas diangkasa. “Ya, aku tahu! Aku harus menjawab
pertanyaan dibenak ku”, Kata ku dalam hati.
Dengan percaya diri sambil berdiri diantara dua
sahabat ku, aku mengatakan “Kan kalian gak pernah tau rasanya naik pesawat.
Nah, suatu saat gue bakal tau gimana nunggangin burung besi itu”
Dodi langsung bangun dari posisi tidurnya “Lo
serius? Bukannya ngeremehin sih, tapi lo kan..” Ujar Dodi yang sambil menggaruk
kepalanya
“Iya gue tau, gue miskin. Tapi siapa yang tau kalo
kita gak nyoba itu kan?” Ujar ku dengan percaya diri.
Hari semakin gelap, kami segera pulang ke rumah.
Sebelum tidur, aku melihat jendela yang memperlihatkan bentangan langit
bertabur bintang. “Walau gak mungkin, gue harus mencobanya sebelum tau
hasilnya”, kata diri ku sambil memikirkan itu.
Ketika umur 20 tahun, aku pergi meninggalkan desa
dan mencari pekerjaan dikota. Berat hati aku meninggalkan Rohim dan Dodi yang
memilih tetap di desa. Hanya dengan berbekal ijazah SMA aku percaya diri ada
yang menerima ku. Tak semudah yang dibayangkan, kehidupan dikota memang sangat
sulit sekali. Aku yang belum mendapat pekerjaan harus tinggal sementara dirumah
sepupu.
Dua bulan lamanya, aku masih menganggur dan putus
asa. Aku menganggap semua ini percuma, impian ku menaiki pesawat tidak akan
pernah tercapai. Setelah pulang melamar dari kantor perusahaan, aku membeli majalah.
Disana tertulis
“Dibutuhkan seorang penyiar radio. Bagi kamu yang
berbakat berbicara, kirim kan CV kamu ke alamat yang tertera”.
Aku yang membaca kembali bersemangat mengetahui hal
ini, karena dulu aku sering sekali presentasi didepan kelas dengan sangat bagus
daripada teman-teman ku yang lainnya. Dan aku juga sering memenangkan lomba Story Telling. Dengan modal keberanian
dan pengalaman, aku mencoba memasukan lamaran ke kantor radio tersebut.
Satu minggu telah berlalu, sebuah pesan singkat
masuk ke telepon seluler ku. Aku mendapatkan panggilan untuk wawancara sebelum
menjadi penyiar di radio tersebut. Setelah wawancara, aku langsung diterima
menjadi penyiar radio tersebut. Kesempatan bagus untuk ku dan aku tak akan
menyia-nyiakan ini. Hari demi hari berlalu dengan profesi baru ku, aku semakin
lihai membawa suasana saat siaran berlangsung. Kemampuan ku dalam berbicara
membuat ku terkenal di radio.
Panggilan demi panggilan untuk menjadi MC, menjadi
pemateri seminar, menghadiri talkshow semakin membuat diri ku terasah dan semakin
dikenal oleh orang banyak. Padahal aku tak menginginkan hal ini, namun ternyata
tuhan menunjukkan jalan yang terbaik bagi ku dari sisi yang tak pernah
terpikirkan oleh ku. Rezeki yang ku miliki tentu aku sisihkan untuk Ayah dan
Ibu ku yang ada di desa, ku harap dengan perlahan kehidupan keluarga ku semakin
membaik.
Hari Raya Idul Fitri, aku kembali ke desa untuk
merayakan bersama keluarga. Aku sungguh terharu dan sangat senang bertemu
kembali dengan kedua orang tua ku. Mereka lah yang selama ini memotivasi dan
mendoakan ku dalam doa nya. Aku menyempatkan diri untuk bertemu kedua sahabat
ku kembali, mereka terlihat tidak ada perubahan setelah aku meninggalkan desa.
Dodi bertanya kepada ku “Jar, lo sekarang gimana
nih? Sukses di kota?”
“Alhamdulillah lumayan Dod, tapi belom seberapa. Gue
jadi penyiar radio” Jawab ku dengan tersenyum
Pembicaraan kami yang panjang kembali berujung
dengan sebuah pertanyaan “Udah naik pesawat belom?” Imbuh Rohim bertanya kepada
ku
“Belom Im, mungkin suatu saat. Hehehe” Jawab ku
dengan terkekeh
Dua minggu berlalu setelah Idul Fitri, aku kembali
ke kota dan melanjutkan perjuangan hidup ku. Hari pertama berakivitas, aku
mendapat tawaran untuk mengisi acara seminar tentang Public Speaking. Aku menerima dengan senang hati dengan tawaran
tersebut. Seminar yang aku isi tampak sangat berhasil dari sebelumnya, para
peserta sangat puas dengan materi yang aku bawakan. Hingga ada seorang pria
peserta seminar yang datang menghampiri ku untuk mengucapkan terima kasih.
Namun bukan hanya ucapan yang ia sampaikan, melainkan tawaran mengisi materi
yang sama di Singapura.
Aku merasa tak percaya, uang pun tak ada. Tetapi aku
harus pergi kesana.
Pria mengatakan “Jar, kamu isi materi di Lembaga
Sosial saya gih di Singapura, dua hari lagi. Soal biaya pesawat, tenang aja.
Saya yang tanggung semua”. Aku kaget mendengar hal itu, dan rasanya ingin
menangis. Karena baru kali ini sepertinya keinginan terbesar ku menaiki pesawat
tercapai. Aku bersujud syukur mengetahu itu dan tuhan benar-benar mendengar doa
ku.
Pada hari keberangkatan, aku tiba dibandara bersama
rombongan Lembaga Sosial milik Pak Fajri yang menawarkan ku menjadi pemateri.
Tak lama kemudian kami langsung menaiki pesawat yang berjenis Boeing 737-800.
Aku baru tahu kondisi didalam pesawat itu seperti apa. Dan benar-benar aku
merasa orang paling pertama kali menaiki pesawat. Aku duduk dan lima belas
menit kemudian, pesawat lepas landas. Sungguh aku takut sampai menutup mata
ketika merasa terbang. Namun ini benar-benar hal yang paling aku senangi,
karena dapat melihat daratan dan angkasa dibalik awan.
Dalam diam ku ditengah penerbangan, aku memikirkan
bagaimana caranya menceritakan pengalaman ini. Dulu hanya bisa melihat dari
bawah sebuah pesawat melintas, kini aku benar-benar ‘menunggangi’nya. Semua
usaha, sabar dan kerja keras ku terbayar lunas. Andaikan Rohim dan Dodi ada
disini, mungkin kami yang paling berisik diatas kabin pesawat hanya untuk
melihat awan-awan. Ya, bisa jadi. Tapi aku yakin ini adalah impian ku yang
telah tercapai dan akan terus terjadi sampai aku bisa membawa teman-teman ku
untuk pertama kalinya bagi mereka.
Tiba lah aku di bandara internasional Changi,
Singapura. Saat turun pesawat aku disambut angin kencang negara ini. Setiap
langkah ku, aku merasakan bahwa akan ada yang terus berlanjut dan tercapai
dalam hidup ku disetiap kondisi yang tak terduga.
Comments
Post a Comment