Jangan Cuek - Cerpen

Cahaya sang mentari yang muncul dari Timur mulai membangkitkan manusia yang terlelap. Semua diawali dari lembaran baru dan untuk memenuhi atau menjalankan kewajiban pada hari baru yang penuh harapan.
Jarum jam menunjukkan pukul 05.30 pagi, Pandu masih terlelap diatas kasurnya yang nyaman, sementara Ayah sudah bersiap untuk berangkat, dan Ibunya tengah sibuk mempersiapkan bekal. Mengetahui Pandu belum bangun, Ayahnya memasuki kamar dan membangunkannya “Nak, bangun, mandi, kamu belum sholat subuh”, sambil sibuk merapihkan dasi yang dikenakan. Pandu bangkit dengan perlahan seperti tubuhnya baru sadar dari koma, tatapannya kosong, rambutnya berantakan. Tanpa membalas sahutan Ayahnya, ia keluar dari kamarnya dan mengambil handuk. Kini Ayahnya menyuruhnya bergegas “Ayo cepat, Ayah bisa telat kalo kamu lelet begitu”, katanya dengan nada meninggi. Pandu lagi-lagi tidak menanggapi perkataan Ayahnya, ia berjalan menuju kamar mandi dengan kepala tertunduk sambil mengusap mata yang masih berat dibuka.
“Yah, Pandu udah mandi?” tanya Ibu Pandu sambil memasukan nasi kedalam kotak makan siang. Ayah Pandu menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan “dia baru bangun. Masa jam segini baru bangun sih, dia sekolahnya jauh dan kantor Ayah kan juga jauh, gimana sih dia Bu? Kok gak ada perubahan gitu sikapnya”, gerutunya dengan posisi tolak pinggang.
“Mau gimana lagi, emang karakternya dia begitu. Kita ngertiin aja, walaupun sebenernya kita gak setuju, tapi ya setiap anak punya kepribadiannya masing-masing dan gak perlu dipaksa buat berubah sekejap. Dia juga ngerti kok pada waktunya”, wanita yang melahirkan Pandu itu hanya bisa menasehati suaminya dengan senyuman.
Pandu dikenal sebagai seorang anak pendiam yang bisa dibilang kurang bersosialisasi terhadap sekitar, termasuk kepada keluarganya sendiri. Tak heran, teman-temannya yang berusaha mendekatinya agar berteman baik hanya diacuhkan begitu saja, tidak ada sama sekali penerimaan hangat darinya. Ekspresinya hanya cuek dan fokus kepada handphone atau buku yang selalu ia baca.
Seusai mandi dan Pandu bersiap berangkat ke sekolah, ia masih saja tidak menanggapi perkataan orangtuanya yang mengajaknya bicara maupun menasehati. Tetapi orangtuanya dengan sabar menghadapi anaknya yang kini sudah duduk di bangku SMA.
Sebelum masuk ke dalam mobil, tangan Ibunya meraih tangan Pandu,
“Pandu, kamu jangan cuek begitu, hargai orang yang peduli sama kamu. Ibu paham mungkin kamu punya pikiran yang berbeda, tapi coba buat nerima lingkungan kamu. Udah gede loh” Ditepuk bahu Pandu oleh Ibunya. Pandu dan Ayah pun berangkat.
Selama dalam perjalanan, mereka sama sekali tak berbincang layaknya seorang anak dan Ayah. Suara radio yang hanya mengisi keheningan suasana, sesekali Ayahnya berusaha mengajak ia berbicara, namun tetap saja ia acuh, hanya memperhatikan kaca mobil disebelah kirinya.
“Pandu, Ayah tahu kamu mungkin gak terlalu suka sama dunia kamu, coba buka pikiran mu. Diluar sana banyak yang senang sama kamu. Oh ya, walaupun Ayah bukan salah satu teman baik kamu, yang penting Ayah bisa bahagian kamu dan Ibu”, Pandu menoleh ke arah Ayahnya yang baru saja melontarkan perkataan yang membuat hatinya bergetar.
“Iya”, hanya 1 kata dari Pandu untuk menjawab Ayahnya.
Mobil berhenti didepan gerbang sekolah, Pandu membuka pintu dan keluar dari mobil. Tanpa pamit “Aku sekolah dulu, hati-hati ya Yah!”, tidak ada perkataan seperti itu.
Ayahnya membuka kaca “Pandu, sini sebentar nak”. Pandu pun menghampiri Ayahnya.
“Kenapa?” ujarnya. “Ayah cuma mau bilangin kamu, jadi lah orang yang terbuka walau kamu pendiam. Karna kamu harus sesuain diri. Kamu laki loh, mana ada cewek yang mau deket sama kamu kalo begini”, Ayahnya tersenyum.
“Ayah ngeledek?” balasnya dengan ekspresi datar. “Ngga maksud Ayah biar kamu paham sekitar kamu, itu aja sih. Ayah pamit duluan ya, kalo Ayah belom pulang kunci aja rumahnya. Ayah bawa kunci cadangan kok” Lanjut Ayahnya.
Pandu hanya mengangguk-mengiyakan perkataan Ayahnya, ia pun segera masuk ke dalam sekolah, dan Ayahnya melanjutkan perjalanan.
“Pagi Pandu!”, sahut Nisrina, seorang teman perempuan Pandu sewaktu kelas 10. Lambaian tangannya yang khas ketika memanggilnya membuat Pandu risih terhadapnya. Pandu hanya menoleh dan menganggukkan kepalanya, kemudian membuang muka.
Sapaan yang ditujukan kepadanya hanya diacuhkan begitu saja, terkecuali Nia. Perempuan yang ia sukai, hanya dia lah satu-satunya orang yang ia anggap ‘ada’. Dia hanya dekat dengan Nia dan bisa dikatakan teman satu-satunya sampai di kelas 11 sekarang. Walaupun mereka tidak cukup akrab, tetapi Pandu selalu saja ada kesempatan mengajaknya mengobrol, bukan cuma kebetulan Nia sekelas dengan Pandu.
Semua orang, teman-teman lainnya, guru dan bahkan orangtuanya sendiri yang mengajaknya mengobrol ia acuhkan, terkecuali Nia. Dia yang membuatnya mau berbicara. Ketika jam pulang sekolah, Pandu dan Nia mengunjungi salah satu mall besar di Jakarta dengan menaiki taksi. Perjalanan cukup macet, karena ada kecelakaan dipinggir jalan, kecelakaan tersebut melibatkan sebuah mobil sedan hitam yang menabrak pohon besar. Jalanan menjadi macet, ia memerintahkan kepada supir taksi untuk mencari jalan lain.
Sesampianya di salah satu mall di Jakarta, mereka berdua hanya duduk-duduk disebuah kafe dan saling bercerita. Nia melontarkan pertanyaan “Pan, lo kok cuek banget sama orang lain?” tanyanya dengan tatapan serius.
“Bukannya bosen ya?”
“Justru kek begini gue malah seneng” balasnya
“Lo butuh sesuatu sama orang lain gimana?” pertanyaan itu membuat Pandu terdiam sejenak. “tinggal minta”, dia membalas dengan keraguan.
“Oh gitu, kalo mereka gak bersedia?”, kini Pandu benar-benar terdiam dan menyadari sesuatu dalam dirinya.
Dalam perjalanan pulang, mereka kembali menaiki taksi. Jalan yang sebelumnya ada insiden kecelakaan, ia sarankan kepada supir taksi untuk beralih ke jalan lain. Mereka pun melewati jalan lain.
Tiba dirumah, Pandu menemui Ibunya yang sedang menangis. “Ibu kenapa?” tanyanya dengan merasakan khawatir. “Jawab Bu! Kenapa?”. Ibu nya memegangi bahu Pandu, dengan nada yang tersedu-sedu Ibu nya menjelaskan, “Pandu, Ayah kecelakaan!”
Sontak membuatnya kaget “Hah?! Dimana Bu?”. Pandu kini memeluk Ibunya untuk menenangkan “Di deket Tebet, Ibu dapet kabar dia kecelakaan karena mobil yang dibawa temennya pecah ban dan nabrak pohon”, tangisan yang tersedu-sedu dari Ibunya semakin menjadi-jadi.
Petugas dari kepolisian yang menangani kasus kecelakaan ini mengatakan, kondisi yang parah dan bahkan menewaskan 2 orang didalamnya. Salah satu penumpang dalam mobil itu adalah Ayahnya. Tangisan Ibunya membuat nafas Pandu berat, dan sangat memukul batinnya, kini ia mengeluarkan air mata yang mengalir deras dari matanya. Rasa sakit namun tak berdarah ini sekaligus menampar dirinya yang tidak peduli akan perhatian.
Rupanya, perkataan Ayahnya tadi pagi adalah benar-benar pertemuan terakhirnya dengan sang Ayah tercinta, dan perhatian terakhirnya “..walaupun Ayah bukan salah satu teman baik kamu, yang penting Ayah bisa bahagian kamu dan Ibu..”
Apa maksudnya ini? Apakah ini cuma salah kabar yang dialamatkan kepada Pandu? Tidak, ini sebuah kenyataan pahit yang Pandu terima. Dimana ia harus menerima takdir kepergian Ayahanda yang ia cintai.
“Ayah pamit duluan ya..” kalimat itu yang selalu berdengung dipikiran Pandu dengan penuh penyesalan, ketidakpercayaan dan kemarahan.
Pandu dan Ibunya langsung menuju ke rumah sakit dimana jenazah Ayahnya ditempatkan. Fisik Ayahnya yang telah terbujur kaku dengan luka dikepala, semakin membuatnya menyesal dan menderita.
Penyesalan ketika perhatian itu tidak akan pernah ada lagi dari seseorang yang mencintainya, dan tanpa disangka perhatian itu adalah bentuk kasih sayang. Kini tiada lagi, dan tak pernah terbayangkan oleh Pandu, semua sudah terlambat dan tak ada gunanya disesali. Membuatnya bangkit hidup pun menjadi alasan bodoh untuk memutar kembali waktu.
Ketika kabar ini diberitahu oleh Pandu kepada teman-teman dan guru-gurunya, seakan menjadi suatu kemustahilan bagi Pandu sendiri, bahwa mereka tidak akan peduli datang ataupun memberi rasa belasungkawa dan dukungan moral terhadap Pandu. Karna secara logika pun mengatakan, jika perhatian kita diabaikan begitu saja dan tidak dianggap, jangan pernah lagi mengharapkan perhatian kembali datang dikala sulit. Namun naluri manusia sebagai makhluk sosial berkata lain, semua teman-teman dan guru-guru datang ke rumah Pandu untuk berbelasungkawa dan memberikan dukungan terhadap Ibu dan Pandu.

Comments

Popular Posts