Cahaya Bulan di Permukaan Danau
Malam ini aku kembali memandangi cahaya bulan pada
permukaan danau seperti yang kulakukan sebelumnya dengan Noven. Suasana gelap
di sini tidak menakutkan layaknya lokasi keramat. Aura positif menguasai siapa
saja yang datang ke danau ini. Lampu taman di pinggir danau cukup menerangi,
kunang-kunang beterbangan, suara katak dan serangga bernyayi bersama, angin
sepoi-sepoi berhembus, pohon-pohon rindang saling bersentuhan, dan yang
menakjubkan adalah cahaya bulan di permukaan danau. Bulat besar dan utuh
tercermin di tengah danau. Tempat ini sudah lama kujadikan tempat berdua
dengannya, dan tempat ini lah saksi bisu mulai terjalinnya cintaku dari dua
tahun lalu.
Di ujung jembatan kayu, aku sering duduk bersama Noven
sambil bercerita tentang kejadian hari ini atau hari sebelumnya, ataupun
tentang hal yang kusuka seperti makan bakso tiga mangkuk dengan sambal ekstra.
Dan hal yang kubenci seperti belajar matematika, karena apa yang diajarkan
dengan soal ulangan selalu berbeda. Walaupun dia hanya menanggapiku dengan
senyuman dan sepatah, dua kata. Ketika dia bicarapun sangat jarang daripada
senyumannya. Mungkin dia memiliki jalan pikiran yang berbeda daripada orang
lain. Memang begitu sifatnya, pendiam dan penuh misteri yang semakin hari
semakin membuatku penasaran tentangnya. Walaupun begitu aku mencintainya, dia
menyempurnakanku sebagai wanita cerewet, ekspresif, dan yang terpenting dia
sebagai pendengar yang baik serta mengerti aku. Itu lah Noven, yang bernama
asli Rama Novendra, panggilan kesayanganku untuknya, karena kami sama-sama
lahir di bulan November.
Pernah ketika aku bercerita panjang hingga habis bahan
obrolan, aku mengajukan satu pertanyaan terakhir “Noven, kenapa kamu mau sama
aku??
“Coba tebak!”
“Hm.. Kenapa?” tanya ku penasaran
“Gak tau, gak
bisa didefinisikan kenapa mau sama kamu, mungkin salah satunya karena
aku nyaman, hehe”, kali ini ia menjawab dengan ekspresi datar.
Mendengar reaksinya aku benar-benar terdiam, hatiku
tersipu malu, senyumanku perlahan mencuat dan membuat pipiku memerah. Ini hanya
pernyataannya yang polos namun detak jantungku makin tidak karuan. Ternyata
Noven menyadari itu, ia memegang daguku dan menolehkan kepalaku ke kanan
arahnya
“Kamu kenapa, Nova?”
“Gak apa-apa, cuma..”
Noven memotong pembicaraan, “Cuma tersipu? Padahalkan
aku gak gombalin kamu”
Noven meresponnya sambil tertawa. Aku hanya terdiam,
melepaskan tangan kanannya dari daguku dan menunduk di hadapannya.
Ada satu hal lagi yang dia ajarkan padaku tentang cinta.
Cahaya bulan yang memantul pada permukaan danau memiliki arti tersendiri bagi
Noven. Ia mengatakan, aku harus terus melihat bulan di permukaan air danau yang
tenang itu kemudian melihat bulannya yang di atas.
Lantas saat itu aku kebingungan dan bertanya kepadanya
“Kamu gak henti-hentinya bikin aku mikir, apa artinya?
Aku masih mengingat filosofi cahaya bulan di permukaan
danau itu, katanya, “Bulan itu bersinar membuatku senang. Sama denganmu, jika
melihatmu disini itu juga membuatku senang. Maka jangan dilihat bayangannya
saja, karena tidak sebagus wujud aslinya”.
Aku dibuat terdiam olehnya, katanya itu bukan
gombalan, dalam hati kuhanya berkata “Apa cuma dia yang bilang bukan gombal,
tapi malah ngajarin filsafat?” ekspresiku hanya tersenyum sendiri.
Dan aku masih mengingat saat hari ulang tahun ku yang
ke-23 pada 15 November lalu, ia ke rumahku pada pukul 11 malam. Aku sudah
sangat mengantuk dan sebenarnya malas sekali membukakan pintu untuknya. Ia
memberikan bunga mawar merah dan mawar putih, aku tidak mengerti.
“Apa maksudmu?”
“Cuma mau ngasih ini dan ngucapin selamat ulang tahun
buat kamu. Maaf aku belom ngucapin”, kemudian Noven memelukku erat. Pelukannya
hangat, menghangatkan diriku yang dingin. Noven terdengar seperti tersedu-sedu
dan badannya menjadi bergetar dipelukanku.
“Semoga penyakitmu itu sembuh”, ternyata ia menangis
dibahuku
“Aku tahu kamu kuat, jangan percaya dokter umurmu
kurang lebih tiga bulan lagi”, rupanya ia masih terbayang perkataanku dan belum
menerimanya.
Mengingat sebenarnya aku adalah pasien penyakit
jantung yang lemah dan selalu saja sakit-sakitan. Memang aku merasa tidak kuat
dan ingin saja hidup ini berakhir, namun sejak Noven mengetahui hal ini, ia
sering menyemangatiku, hingga menginap menemaniku dirawat di rumah sakit. Aku
mengerti perasaanya, dan aku juga mencintainya hingga tak ingin semudah ini semua
berakhir.
“Kamu jangan takut kehilangan aku, aku pasti sembuh.
Dua bulan lagi aku akan melakukan transplantasi jantung, aku sudah menemukan
pendonor untukku. Doakan saja semua berjalan lancar”. Kondisiku yang lemah
tetap mencoba tegar, kini air mataku tak kuasa terbendung. Air mata berlinang
membasahi pipiku.
Noven memandangku dan mencium keningku, ia berkata
“semoga berhasil ya sayang, aku selalu berdoa buat keselamatan kamu”
Lanjutnya, “Aku pulang duluan ya, maaf ganggu”. Ia
masuk kedalam mobilnya dan segera pulang.
Beberapa waktu Noven tidak menjengukku, namun kata
orangtua ku ia tetap selalu datang hanya saja disaat aku tidak sadarkan diri. Dua
bulan kemudian, Tiba saatnya waktuku beristirahat untuk operasi besar ku besok,
saatnya transplantasi jantung. Saat operasi besar itu dimulai, aku hanya merasa
terlelap dan masih merasakan rasa sakit di dada. Obat bius itu ternyata masih
kalah dengan rasa sakit ini, walaupun tidak sangat sakit. Dalam tidurku ketika
dibius, aku masih saja memikirkan apakah Noven tetap mendampingi ku? Ataukah
dia hanya pasrah dalam doanya dan meminta bantuan Tuhan untukku? Aku tidak
tahu, sekarang yang ku rasakan hanya pilu di dada, organ ku diangkat dan
digantikan dengan organ baru.
Aku baru sadarkan diri kurang lebih tiga minggu
setelah transplantasi jantung. Masih dalam tahap pemulihan dan tidak bisa
bergerak banyak. Sakit di dada yang amat sangat masih ku rasakan di kala
mengalami infeksi pada jantung baru ini. Aku hanya pasrah, tetap berterima
kasih kepada Tuhan karena masih mengembuskan nafas hingga detik ini.
Satu setengah tahun setelah pemulihan, aku merasa
lebih baik dan mulai menjalani hidup sehat dan selalu bersyukur apa yang ku
dapat hari ini. Aku memikirkan seseorang yang sedari dulu menyemangati ku,
namun ia tidak pernah terlihat lagi di hadapanku. Kemanakah dia? Rama Novendra.
Aku berpikir bahwa ia telah tega meninggalkanku,
menemukan pengganti baruku yang sehat fisik, dan tidak pernah sakit sepertiku.
Selama aku sakit apakah tidak ada yang memberitahuku mengenai hal seperti ini?
Lantas apa yang sebenarnya disembunyikan oleh keluargaku?
Aku membuka kotak kecilku yang sudah tersimpan lama
dan tertutup debu. Bukan sekedar kotak, namun berisi barang-barang pemberian
Noven yang memiliki ceritanya masing-masing. Ku ambil jam tangan pertama
pemberian darinya, Noven memberikanku saat hari Valentine bersama dengan
coklat. Kemudian ada kalung, gelang couple bertuliskan namanya, dan masih
banyak lagi. Hanya itu saja yang kutemukan, kemudian aku mencari-cari di atas
lemari, ada bunga mawar merah dan mawar putih yang sudah menghitam di bungkus
plastik. Ya, aku ingat dan menyimpannya ketika Noven memberi ini malam-malam
saat hari ulang tahunku.
Rupanya tidak hanya ada dua tangkai bunga itu, ada
lagi seikat bunga mawar dan mawar putih yang banyak di bungkus plastik,
kondisinya juga menghitam. Aku memiliki perasaan bahwa Noven pernah memberi
bunga lagi setelah malam itu, atau bahkan saat aku operasi dan tidak sadarkan diri?
Seikat bunga itu ku ambil dan ku tanyakan kepada ibu
“Bu, ini bunga dari Noven?”
“Iya nak” Ibu ku menjawab dengan senyum
“Kapan dia ngasih?”
“Sebelum kamu operasi nak”
“Ohh begitu” ternyata dugaan ku benar, Noven yang
memberi ini
Lanjutku “Terus Noven kemana bu? Kok ngga nengokin aku
lagi?”
“Dia pergi nak” kata ibu, aku diam tanpa kata
“Kenapa dia ninggalin aku bu?” Bibir ku mulai
bergetar, tangan ini kembali dingin dan hati ku serasa hancur. Pengkhianatan
yang tidak kuperkiran benar-benar terjadi
Ibu ku memelukku dan berbisik “Nak, tenang. Noven
mungkin ninggalin kamu, tapi sekarang Noven jadi jantung mu nak. Dia tetap
hidup menjadi bagian diri kamu”
Aku tertegun, rasa kaget, tidak percaya, kesedihan,
hati terasa hancur, seakan tidak percaya hal ini. Ibu ku juga menyerahkan
sepucuk surat dari Noven sebelum ia melakukan donor jantung, surat itu berisi:
“Dear Nova Larasati. Sudah lama ku tahu
penyakitmu dan aku tahu kamu merasa sangat menderita dengan semua itu. Namun
kamu memasang topeng ekspresi senang di hadapanku. Aku senang, aku tahu kamu
kuat dan selalu berpikir positif. Aku tetep gak bisa mendefinisikan cintaku
kepadamu. Jangan khawatir, aku memang gak ada lagi di dunia ini. Tapi aku masih
bisa hidup sama kamu dengan meninggalkan jantungku padamu. Semoga kamu sehat
dan jalani hidup dengan bahagia. I Love You. Rama Novendra”
“Jadi Noven yang jadi pendonor jantung buat aku bu?”
Tanya ku yakin, air mata ini tak kuasa dibendung
“Iya nak” Jawab ibu yang juga menangis tersedu-sedu.
Ya, aku sangat menangisi Noven selama satu minggu
menjelang hari ulang tahunku yang ke-25. Aku masih belum menerima, sekarang
hanya rasa kesepian di hatiku, seakan tak ada yang lain di sisi. Segenap hanya
untuk Noven. Mengapa harus Noven yang menjadi pendonor? Kenapa bukan orang lain?
Atau kenapa aku saja yang mati daripada orang lain repot-repot mengurusiku? Aku
merasa sepi yang amat sakit, lebih dari sekedar masa pemulihan jantung.
Namun terlepas dari itu semua, aku harus memikirkan
sisi positifnya, tidak ingin mengeluh terus, dan mulai menerima kenyataan. Aku
teringat lagi perkataan Noven mengenai filosofi dari cahaya bulan di permukaan
danau, yang kini sedang ku lihat lagi di depan mata. Aku pikir akan
menyempurnakan pemikiran Noven pada kurang lebih 2 setengah tahun silam.
“Bulan itu bersinar membuatku senang. Sama denganmu,
jika melihatmu disini itu juga membuatku senang. Maka lihatlah bayangannya,
karena itu mengingatkan mu jika aslinya telah tiada”.
Kini tempatku berpijak memang lah sama, namun
suasananya yang telah berbeda. Dulu ada kamu, sekarang tidak ada kamu. Dulu
suara mu menyapaku dan selalu membuatku berpikir, Sekarang kunang-kunang yang
beterbangan menemaniku di samping, dan alam sekitar lah yang membuatku berpikir
untuk men-syukuri hidup.
Comments
Post a Comment