Cakrawala Malam
Setiap malam aku menyumbat telinga ini dengan earphone hanya untuk sekadar mendengarkan lantunan musik indah yang mewakilkan rasa hati ini yang sedang berwarna-warni. Namun tepatnya putih hitam lebih mendominasi dalam isi kepala ini. Mungkin campuran keduanya warna abu-abu yang makin menghitam karena kelopak mata sudah memberat dan tidak kuasa menahan lelah. Sekejap menjadi warna putih kembali ketika getaran dari naluriku ini yang menyadarkan bahwa aku sebenarnya tidak bisa tidur tanpa merindu terlebih dahulu kepada seseorang. Tentu orangtua yang pertama kurindu dari kejauhan, anaknya adalah seorang perantau pemula yang masih terus mendapat uang saku dan merasakan doa sederas arus ombak ditengah samudra di dalam hati.
Sisi lain rindu yang lain itu rindu kepada seseorang yang ntah sebenarnya layak kucintai atau kutinggalkan saja dia tanpa rasa peduli apapun. Bisa kah itu? Bisa, tapi tidak mudah seperti tulisan ini yang lancar kuketik dengan spontan. Perasaan kepadanya tidak timbul seperti mengetik huruf pada keyboard laptop, dan menghapus rindu atau kasih kepadanya tidak seperti menekan tombol delete atau backspace. Waktu yang memproses itu semua dan kendali dipegang oleh lingkungan sekitar yang bisa mendukung ini semua atau tidak. Jika dengan khalayak ramai pada semua kepentingan atau hanya sekedar duduk manis ditemani kopi dan rokok, persoalan tentang dia tidak sekalipun akan terpikirkan. Namun jika sudah sendiri atau membuka sebuah buku dan membalik lembarannya, pasti ada sebuah kata kunci yang menarik ingatan terpendam itu di dalam sana.
Kata kunci itu memproses pemikiranku dalam warna merah, yang berarti ‘cukup, hentikan, sudah’. Langit jingga mengajakku bermusyawarah antara kelogisan dan naluriku untuk menarik kenangan itu, apakah layak dibahas lagi atau tidak. Warna kuning memberi sinyal ‘hati-hati, itu sudah terlalu menyakitkan. Atau warna hijau juga memberiku saran ‘silahkan, dan semoga tidak terjadi apa-apa dalam memproses kata kunci itu’. Warna langit biru memberiku nasihat ‘pandai-pandai dalam menanggapi hal sensitif itu’. Nila memberiku hiburan untuk bersenang-senang lah sementara, dirimu layak sesekali mengingat suatu hal. Serta ungu memberiku nasihat yang paling bijak ‘tenang dan bersabarlah atas segala sesuatu yang telah terjadi ataupun yang belum terjadi’.
Selalu saja mereka mengemukakan pendapatnya, dan mereka selalu tahu aku tidak tahan untuk mengeluarkan itu untuk didiskusikan sendiri dengan cara merenung. Apa yang direnungkan sebenarnya? Apa lagi kalau bukan cinta. Cinta yang tidak berbalas, cinta yang sebenarnya tidak mencintai, cinta hanya cukup pada kekaguman semata, ataupun cinta yang sebenarnya cinta. Pembahasan itu selalu menarik untuk dibahas, sumpalan ini sudah siap bernyanyi dengan menirukan suara apapun. Hebat sekali, seandainya aku bisa seperti itu, mungkin akan disukai oleh siapapun bagi yang mendengar suara tiruannya.
Kenikmatan lagu tenang atau lagu romantis mengiringi diri ini kembali ke warna abu-abu menuju hitam. Kata kunci ‘cinta’ setelah diingat, waktunya untuk disimpan kembali di perpustakaan. Memberikan waktu istirahat untuk cicit anak adam ini selalu dinanti, agar tidak melulu mengingat salah satu kaum hawa yang sangat dicintai, dan dirindu. Hingga mata ini menutup, dan diriku mati sejenak. Semua tidak akan terpikiran. Tenang. Kecuali kamu dan aku bertemu di alam mimpi. Semoga indah pada kenyataannya.
Comments
Post a Comment