Pipi Tembem

“Happy Birthday, Punin”, kuucap dengan senyuman paling tulus.
Ia tersipu malu, tersenyum lalu menundukkan kepalanya. Ia memukulku karena tidak menyangka kedatanganku. Ada rasa kesal dari cara dia memukul bahu sebelah kiriku. Biasanya tidak terlalu sakit kala dia memukul.
Aku berdiri tepat di depan pintu rumah kakeknya yang kini ia tinggali.
“Kok kamu bisa disini?”, ia tidak tahu menahu perihal kedatanganku ke kota ini. Matanya terbuka lebar, alis matanya mengernyit.
Aku masih dengan senyumanku, kutarik nafas panjang ini untuk meredakan jantungku yang berdebar. Kulihat jam tangan di tangan kiri. Sekarang pukul delapan malam. Suara kendaraan bermotor masih terdengar, namun apakah ia mendengar jeritan suara rinduku padanya? Setiap detik waktu ini mewakili detak jantungku yang mulai tenang.
“Aku ada keperluan disini, terus aku inget ada temen lama disekitar sini yang gak jauh dari hotel”
Ku ambil sebuah kantong plastik bening yang isinya sebuah kotak. Hadiah dari kota tempatku merantau. Kue lapis yang terkenal di kalangan masyarakat Kota Pahlawan. Untuk ulang tahunnya yang ke-19. Tidak terasa semakin tua saja umurnya.
“Semoga kamu senang”, ucapku.
“Ihh makasih banyak, Frans. Aku seneng banget”, Punin memandangiku kembali dengan senyuman lesung pipinya yang sangat kurindukan itu.
Ia mempersilahkanku duduk di kursi kayu tua berwarna coklat. Kubuka jaket kulitku untuk menikmati suhu udara disini. Udara di Paris van Java memang sejuk, letak geografisnya yang tinggi membuat siapapun nyaman. Terutama aku nyaman di dekatnya saat ini. Cerita tentang kuliahnya dan perkuliahanku yang mulai mencapai titik jenuh menjadi pembicaraan hangat. Tapi untuk pembicaraan soal perasaan akan merusak ini semua. Kami sudah tahu isi hati masing-masing. Alasan kami tidak mencapai kata sepakat karena kesalahan kami berdua juga. Hanya komunikasi saja yang tidak jelas. Aku tidak mencarinya, namun ia mencariku. Kemudian aku mencarinya, ia tidak mencariku. Sekarang masih bisa kurasakan adalah ia tidak mencariku.
Setiap pembicaraannya tidak membuatku berpaling pandangan kemanapun. Fokus kepadanya layaknya aku menyimak materi tentang evolusi manusia. Ia bercerita tentang kota rantaunya dan kampusnya dengan antusias layaknya tour guide yang sedang menerima turis. Aku tidak kalah ikut antusias bercerita. Cerita konyol kesiangan saat ke kampus, tidak mengerjakan tugas tepat waktu, rasa apatisku terhadap lingkungan sendiri, sampai membicarakan teman kami masing-masing. Kami sampai lupa sekarang pukul 11 malam. Tapi rasanya hanya satu jam saja. Selalu begitu. Ketika kita bertemu dengan orang yang kita cintai rasanya sangat singkat sekali. Antara waktu yang begitu kejam karena berputar cepat atau kami saja yang terlalu asik. Terlebih begitu aku harus pulang ke kota rantau untuk kembali mengadu nasib.
Perut kami berdua sakit karena sudah tertawa terbahak-bahak, pipinya memerah. Aliran darahnya terpacu dengan hormon adrenal. Matanya sudah mengantuk, terbaca dari mengucek matanya berkali-kali. Memang biasanya ia sudah tidur jam sembilan atau sepuluh malam. Kali ini saja ia terpaksa menahan rasa kantuknya untukku.
Tatapan perpisahan aku dengannya seperti kami tidak akan bertemu kembali. Dalam waktu yang lama atau bahkan selama-lamanya. Kami berdua berdiri dan aku bersiap mengenakan jaket kulitku lagi. Bagian kiri pipi tembemnya yang memiliki senyum pipit itu kusentuh dan kucubit. Aku kemudian teringat kembali pada satu tahun lalu peristiwa yang sama terjadi. Masa-masa terakhir kali bertemu saat masih seragam putih-abu. Saat kota Apel menjadi saksinya.
Aku mengucapkan selamat malam dan berpamitan. Punin juga demikian. Setelah begitu lama hanya tiga jam pertemuan, menyisakan air mata yang masih terbendung. Ditengah perjalanan ke hotel pandanganku menjadi hitam pekat. Aku tersadar bahwa aku bermimpi. Itu adalah peristiwa tiga tahun lalu. Tiba-tiba menghampiri mimpi, antara memiliki pertanda atau hanya bunga tidur saja.

Kini aku dan dia sudah tidak berhubungan lagi, tapi masih kulihat dirinya di akun Instagram bersama teman-teman barunya. Namun fotonya lebih banyak dirinya sendiri dan keluarganya. Sebentar lagi ia akan lulus, pun demikian juga aku. Namun ia lebih dulu, barulah aku tiga bulan kemudian. Ketidaktahuanku tentang dirinya kini sudah dengan siapa menjadi tanda tanya besar. Tidak ada tanda-tanda di sosial medianya dan teman terdekatnya menunjukkan Punin sedang dekat dengan seorang lelaki. Muncul dua buah pertanyaan. Pertama, apakah aku harus hadir kembali tanpa pertanda agar menjadi kejutan lagi? Kedua, apakah ia mengharapkanku datang kembali seperti saat malam itu? Aku masih ingin melihat pipi tembem merah itu tambah merah cantik dan semakin menawan. Tidak lupa, senyuman khasnya itu dan lesung pipitnya.


Comments

Popular Posts