Ironi Pelecehan Seksual di Balik Sebuah Konstruksi Sosial Budaya

Pernahkan mendengarkan sebuah suara dalam ruang hampa yang jarang terjamah atau sulit didekati? Dan mendengarkan teriakan yang perlahan kian mendekat kemudian menyayat hati? Ada sesosok, sepertinya tidak. Ada beberapa, tidak juga. Ada banyak di dalam ruang hampa penjara yang terisolasi itu ingin keluar untuk bebas kembali atau mengakhiri hidupnya. Jiwa-jiwa yang ternodai martabatnya merasa pendosa padahal dinodai oleh jiwa yang biadab. Di luar jangkauan sana, para penjaga dan jiwa-jiwa lainnya masih sibuk memperdebatkan persoalan siapa yang salah. Serta sibuk memburu jiwa-jiwa pendosa yang berkeliaran ditengah jiwa-jiwa yang tidak berdosa.

Mungkin seperti itu analogi yang bisa diberikan. Ruang hampa terbentuk atas konstruksi sosial yang membangun sebuah sisi yang lain kepada para korban pelecehan seksual. Jiwa-jiwa pendosa adalah pelaku yang merusak harga diri para korban karena berbagai macam alasan. Para pemangku kebijakan seakan sulit untuk bergerak karena Undang-Undang yang ada hanyalah sekedar ada. Orang-orang awam sebagai ‘pemirsa’ terkadang ikut menghakimi persoalan siapa yang salah jika terjadi sebuah kasus pelecehan seksual terhadap perempuan. Mudah saja masyarakat diantara kita melakukan victim blaming dan mengatakan karena pakaian korban tidak senonoh, gerak-gerik tubuhnya menantang, atau suaranya yang merangsang.

Setelah terjadinya kasus pelecehan, orang-orang yang menghampiri korban juga terkadang malah memberatkan kondisi mental. “Kenapa tidak melawan?”, “Kok malem-malem pergi sendirian sih?”, “Bajunya kurang bahan nih!”, “Resiko orang cantik gini deh”, dan sebagainya. Bukannya membantu justru orang-orang di sekitar malah turut menyalahkan, bahkan oknum aparat ada juga yang mengatakan hal yang bernada sama kepada korban ketika meminta keterangan atas laporannya.

Kemajuan teknologi yang canggih pada zaman sekarang semakin banyak yang mengeksploitasi tubuh perempuan baik oleh pihak lain ataupun kemauan diri
perempuan itu sendiri. Jika diperhatikan misalnya, dari yang sangat mengeksploitasi adalah seperti sampul video porno atau situs pornografi mengumbar bagian tubuh perempuan, dan laki-laki yang seharusnya tidak ditampakkan sebagai produk merek dagang. Hanya untuk memenuhi kebutuhan kaum kapitalis menguasai pasar sekaligus mempengaruhi budaya di luar. Atau mengunggah video klip oleh penyanyi perempuan yang video klipnya cukup mengumbar setiap lekukan tubuh. Dan akses bebas melihat foto dari aplikasi Instagram juga akan makin banyak yang ‘mengekspresikan’ eksistensi tubuhnya. Tentu tidak menyalahkan atas hal tersebut, namun secara sadar atau tidak memang ada yang melakukan hal seperti diatas sebagai tuntutan kebutuhan ekonomi, mengejar popularitas, atau sebatas ekpresi diri akan sebuah seni.

Permasalahannya ketika mengunggah video klip atau foto ke dalam media sosial, apakah hal itu sepenuhnya diterima oleh warganet? Asumsi untuk diterima sepenuhnya tentu saja tidak akan terjadi, namun bagaimana dengan yang menanggapinya dengan nada godaan dan melecehkan.

Ditinjau secara ilmiah pengertian pelecehan seksual, dapat didefinisikan suatu perbuatan yang diperkirakan dimotivasi atau dikehendaki oleh pelaku yang memiliki nafsu birahi tidak terkendali, dari yang ringan sampai yang serius hingga aktivitas seksual yang memaksa. Walaupun demikian, hal yang sering terjadi adalah pelecehan gender. Dimana lingkungan itu mendukung adanya tindakan kekerasan terhadap korban dalam bentuk pelanggaran terhadap hubungan antar gender. Pelaku pelecehan seksual ini tentu tidak selalu dilakukan oleh yang berlawanan jenis kelamin. Bahkan tidak hanya itu, pihak yang melakukan bukan hanya dari orang yang tidak dikenal, namun juga sangat memungkinkan dari lingkup sosial yang terdekat, seperti; keluarga, pertemanan, sekolah, lingkup pekerjaan, dan sebagainya (Artaria, 2012: 54).

Terkadang nilai budaya dan pandangan pribadi seseorang memiliki pandangan yang berbeda mengenai batasan pelecehan seksual. Perlu diketahui juga, tidak hanya sentuhan fisik dan secara verbal saja pelecehan dilakukan, namun pelecehan secara non verbal dengan mengedipkan mata sebelah pun juga masuk kategori pelecehan seksual (Wahyudi, 2018). Isu-isu seksualitas memang
dipandang secara berbeda oleh laki-laki dan perempuan. Secara umum diketahui bahwa laki-laki begitu bebas dan ekspresif terhadap nafsu seksualnya. Sehingga gambaran tubuh perempuan banyak dilakukan laki-laki, yang umumnya dilakukan tidak personal atau di depan perempuan secara langsung. Seolah-olah sistem sosial budaya yang ada merupakan konstruksi sosial budaya patriarki turun-temurun, yang diakui dan dilestarikan oleh masyarakat pendukung.

Seperti contoh tradisi yang diyakini dalam budaya suku bangsa Atoni Meto di Nusa Tenggara Timur, Frederika Tadu Hungu (dalam Saptandari, 2012: 10) menjelaskan dalam kajiannya berjudul Sifon sebagai Pedang Bermata Dua bagi Perempuan. Para lelaki melakukan ritual bernama Sifon setelah sunat. Idealnya menurut kepercayaan mereka, tradisi sunat dilakukan pada laki-laki berumur 30-40 tahun. Ritual Sifon ini adalah melakukan hubungan seksual dengan 2-3 perempuan yang bukan istrinya, beberapa hari setelah sunat dilakukan. Praktik ini pun juga dilakukan pada waktu yang berbeda dan secara bertahap memiliki tujuannya tersendiri. Selain itu, sifon juga berhubungan dengan mitos kejantanan, keperkasaan, dan keharmonisan keluarga. Bagi seorang laki-laki yang tidak menjalani ritual akan menjadi bahan perbincangan negatif atau diolok dalam sebuah pertemuan umum. Nahas dalam praktiknya ditemukan fakta perempuan yang rentan memiliki penyakit menular seksual mengalami diskriminasi dan tindak kekerasan. Dalam hal ini memang terdapat dua kenyataan yang berparadoks. Satu sisi budaya ini diakui dan ditaati oleh suku bangsa Atoni Meto, namun sisi lainnya mengorbankan perempuan menjadi ‘wadah’ dari ritual membuang sial laki-laki yang menjalankan sifon. Memang tidak bisa disalahkan, bahwa budaya itu sifatnya berkaitan dengan situasi masyarakatnya.

Hakikat manusia hidup saling berdampingan dan saling membutuhkan antar manusia lainnya, namun mengapa seiring kemajuan zaman yang kian modern malah menghendaki suatu keadaan yang bertolak belakang akan hal itu. Rasional atau tidak rasional sebuah fenomena tersebut jika menurut suatu kajian ilmiah dalam ilmu sosial, secara sekilas dapat dipahami perubahan dalam suatu lingkup masyarakat itu terjadi dalam masyarakat yang dinamis untuk menemukan suatu lingkungan baru yang lebih baik atau mungkin lebih buruk.

Secara sosiologis perubahan sosial itu bentuk dari segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosial, nilai, sikap, dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok masyarakat (Soekanto dan Sulistyowati, 2017: 259).

Seiring dengan era yang disebut postmodern, terkadang juga mengiringi perubahan paradigma masyarakat. Perubahan diartikan sebagai hakikat dari kenyataan, dimana setiap fenomena termasuk dalam seluruh kenyataan. Masyarakat manusia dan manusia tidak dapat melarikan diri dari kenyataan yang tiba dan akan tiba (Sumakul, 2012: 14). Sehingga dalam sebuah fenomena dari kenyataan juga terus dikaitkan dengan relativisme budaya itu sendiri dan masyarakat yang menerima.

Kasus pelecehan seksual yang terekspos oleh media seperti kasus pencurian ayam atau sembako di sebuah toko. Namun bukan berarti kasus pelecehan seksual dapat disamakan konotasinya dengan mencuri ayam atau sembako. Kasus pelecehan seksual tidak selalu diberitakan, atau dilaporkan. Berbagai alasan korban tidak melaporkan seperti: pelaku adalah atasan, guru, senior, atau mendapatkan ancaman serius dari si pelaku.

Data dari Lembar Fakta Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan (2018), ada 348.446 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani selama tahun 2017, yang terdiri dari 335.062 kasus bersumber pada data kasus atau perkara yang ditangani oleh Pengadilan Agama, serta 13.384 kasus yang ditangani oleh 237 lembaga mitra pengada layanan, tersebar di 34 Provinsi. Selain itu, dalam CATAHU Komnas HAM mencatat kekerasan seksual terhadap perempuan selalu terjadi dalam tiga ranah, yaitu; (1) Ranah Privat, yang memiliki hubungan kekerabatan, ikatan pernikahan, maupun hubungan kekasih dengan korban; (2) Ranah Publik atau Komunitas, pelaku bisa dari majikan, tetangga, guru, teman sekerja, tokoh masyarakat, ataupun orang yang tidak dikenal; (3) Ranah Negara, pelaku kekerasan adalah aparatur negara dalam kapasitas tugas. Ataupun aparat yang berada di lokasi kejadian yang membiarkan pelaku menjalankan tindakan kekerasan.

Kemudian berita pelecehan seksual dalam lingkungan lembaga agama, seperti berita yang dikutip dari CNN Indonesia (15/10/18). Uskup Agung Washington D. C., Amerika Serikat, Kardinal Donald Wuerl, mengundurkan diri terkait skandal pelecehan seksual. Pengunduran dirinya ini berlatar belakang menutupi kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh bawahannya. Selain itu, Jaksa Agung Josh Shapiro mengatakan bahwa Wuerl juga ikut berpartisipasi menyembunyikan kasus yang turut menyeret Paus Fransiskus. Dalam dokumen laporan permintaan penyelidikan (grand jury), Wuerl juga disebut menyetujui pemindahan kardinal pelaku pelecehan dan bukan mengeluarkannya. Selain itu, ia tidak memberi informasi yang diketahuinya kepada polisi atau pihak berwenang lainnya. Bahkan, ia juga disebut menawarkan bantuan finansial kepada para kardinal yang dituduh sebagai pelaku pelecehan seksual.

Indonesia cukup beralasan untuk mengkriminalisasi secara khusus karena dengan UU No. 7 Tahun 1984 Indonesia telah mengesahkan (meratifikasi) Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita. Lebih-lebih berbagai instrumen internasional, khususnya Resolusi SU PBB No. 48/104, telah menyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan mencakup pula pelecehan seksual. Dalam hal ini sanksi pidana, perdata, dan administrasi dapat dikembangkan bersama dengan langkah-langkah preventif lainnya. Kemudian langkah preemtif, preventif, dan represif secara khusus harus dilakukan. Organisasi-organisasi perempuan, termasuk Komnas HAM Perempuan, harus terus melakukan sosialisasi agar korban berani melaporkan apa yang terjadi dan kemudian memperoleh perlindungan, dalam kerangka prinsip kepekaan dan kesetaraan gender (Muladi, 2018).

Jeritan dalam tekanan terdengar disetiap sisi lingkungan kita. Keluhan akan gangguan psikis dan fisik selalu membuntuti aktivitas sehari-hari korban pelecehan seksual. Ancaman jika melapor juga menghantui diri korban ketika hendak menegakkan sebuah keadilan. Maka dari permasalahan yang kerap muncul dalam target pencapaian lingkungan yang ramah bagi siapapun terutama perempuan, diperlukan kesadaran pribadi, kepastian hukum yang jelas serta advokasinya, diberikan perlindungan dan permbinaan bagi korban pelecehan seksual. Ekspansi produk dari industri pornografi yang dilegalkan oleh negara lain, sangat perlu diawasi, dibasmi dan diantisipasi keberadaannya ketika diblokir pemerintah. Tentu mencegah lebih baik daripada mengobati, karena sakit itu juga mahal.

Sangat diperlukan juga pendidikan seksual berbasis gender sejak dini kepada anak-anak untuk menekan lahirnya pelaku dan jatuhnya korban akibat pelecehan seksual. Selain itu, keterbukaan ruang bagi siapapun tidak terbatas jenis kelamin dan peran gender harus dikampanyekan setiap lembaga formal dan non formal. Demi menciptakan ruang publik yang ramah bagi semua terutama perempuan, diri kita sendirilah yang perlu melakukan perubahan atau kesigapan ketika menghadapi sebuah masalah dalam pelecehan seksual. Kita semua juga tidak ingin mendengarkan ‘bunyi dalam sunyi’, bukan? ‘Dan jeritan dalam tekanan’ dari perempuan yang telah direndahkan martabatnya.


Daftar Pusaka

Artaria, M. D. (2012) ‘Efek Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampus: Studi Preliminer’, BioKultur, 1(1), pp. 53–72.

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (2018) Lembar Fakta Catahu Komnas Perempuan Tahun 2018. Jakarta.

Muladi (2018) Eradikasi Pelecehan Seksual, 31-01-2018. Available at: https://kompas.id/baca/opini/2018/01/31/eradikasi-pelecehan-seksual/ (Accessed: 15 October 2018).

Saptandari, P. (2012) ‘Kesehatan Reproduksi Perempuan dalam Perspektif Antropologi Budaya’, BioKultur, I(1), pp. 1–18.

Soekanto, S. and Sulistyowati, B. (2017) Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.

Sumakul, H. W. B. (2012) Postmodernitas: Memaknai Masyarakat Plural Abad Ke-21. Jakarta: Penerbit Libri.

Tim, C. I. (2018) Dianggap Tutupi Kasus Seks, Uskup Agung AS Undur Diri, 15-10-2018. Available at: https://www.cnnindonesia.com/internasional/20181015150822-134-338581/dianggap-tutupi-kasus-seks-uskup-agung-as-undur-diri (Accessed: 16 October 2018).

Wahyudi, M. Z. (2018) Birahi Manusia, Antara Permainan dan Kesucian, 12 Juni 2018. Available at: https://kompas.id/baca/utama/2018/06/12/berahi-manusia-antara-permainan-dan-kesucian/ (Accessed: 16 October 2018).



(Muhammad Faiz Zaki Muharam Tanjung, Universitas Airlangga)
*Essay Ini Juara 3 Lomba Essay Women Hero 3.0*
Waktu: Oktober, 2018
Penyelenggara: Kementrian Pemberdayaan Perempuan BEM Universitas Airlangga

Comments

Popular Posts