Dinding Pertahanan
Kurang lebih telah genap 12 bulan pertahanan dinding di dalam sanubarinya runtuh. Kemarahan menguatkan sekat dinamisnya perasaan, kebencian dan dendam memperkokoh konstruksi di sana. Tidak ada keberanian mengalah pada diri sendiri untuk merobohkan, setelah sandiwara picisan berakhir mengenaskan.
X
telah melemahkan pertahanan dinding tersebut karena ada seseorang teguh terus
melangkah sampai di depan. Y si pemilik tembok itu terheran mengapa X bisa
berani, apakah X telah mempelajari histori tembok tersebut? Tentu saja tidak
sewaktu Y menginterogasinya. Pertemuan pertama itu saling memberikan kesan
berarti terhadap mereka berdua.
Bangunan
tembok yang menjulang tinggi itu tak bisa digapai sekalipun terbang ke atas
maupun di gali sampai ke dasar inti bumi. Pondasinya telah mengakar pada bumi
dan dipegang kuat oleh langit. Y telah terlanjut membenci seseorang yang sejak
dulu masuk ke wilayahnya, bersenang-senang bersamanya lalu berkhianat seketika.
Memaki pada diri sendiri dan orang asing itu tanpa henti. Maka dibuatlah
perlahan hari ke hari dengan cepat sebuah tembok yang tidak bisa digapai di
atas langit dan di bawah bumi.
Sejarah
ini diceritakan kepada X oleh Y. Sepertinya X mulai mengerti jalan pikiran
sekaligus sejarah pembangunan tembok yang kokoh itu. Berawal dari pertemuan
pertama, X dan Y mulai saling mengenal satu sama lain. Apa yang ada dibenak
kepala Y adalah sebuah ketidaniscayaan bahwa tembok itu akan runtuh. Namun
waktu telah menggoyahkan, tembok itu mulai perlahan rapuh setiap kali disentuh
dan dikorek oleh X. Bukan penyihir apalagi jelmaan Tuhan yang menjadi manusia,
X hanyalah orang biasa sama seperti Y.
Keduanya
sama-sama memiliki luka masa lalu persoalan hati yang tidak kunjung tuntas.
Suatu malam, X mengaku kepada Y bahwa dia juga memiliki tembok yang sama
kokohnya dengan yang dilihatnya pertama kali dari milik Y. Mereka saling
berkunjung ke dalam hati masing-masing dan mencoba meraba dan mengorek. Tidak
ada tantangan berarti, konstruksi mulai lemah, pelapukan batunya terkikis setiap
hari. Makin lama mereka saling menyentuh, tembok mereka berdua mulai runtuh
perlahan menjadi puing. Y bisa melihat wilayah kuasa hati milik X, dan
sebaliknya X dapat melihat wilayah milik Y senyata mungkin.
“Katamu
ini begitu kuat namun mengapa mudah sekali rapuh?” tanya X kepada Y dengan
kebingungan.
“Aku
ingin mempertanyakan hal yang sama kepadamu, mengapa demikian?” Y membalik
pertanyaan milik X.
Mereka
berdua hening sejenak. Alam bawah sadar pikiran mereka mulai saling bergejolak.
Ada suatu bahasa yang tidak dapat dibahasakan. Ada perlakuan yang tidak bisa
diterjemahkan. Ada tindakan yang tidak bisa diperkirakan. Semuanya makin penuh
kejutan. Kini mereka tahu bahwa mereka adalah sama-sama pelaku penghancur
tembok satu sama lain.
“Sekarang
apa yang hendak kamu lakukan pada diri kita ini?” X tegas bertanya.
Y
berpikir cukup lama, ada ketidakyakinan dan keyakinan yang sedang berperang
namun belum kunjung usai. Setelah berakhir, dia mantap menjawab tanpa ragu.
“Baiknya
segera kita bersama dan berdamai pada masa lalu sendiri. Selanjutnya mari kita
mulai bersama sebaik mungkin. Pengalaman tidak selamanya buruk, kamu tahu,
kebaikan pasti diseimbangkan dengan keburukan.” jelas X dengan antusias. Kini
jari tangannya mulai menggigil, darahnya mengalir deras dan jantung berdetak
tidak karuan.
“Hal-hal
di dalam dunia ini selalu ada posisi yang biner, kan? Ketika kamu yakin pasti
ada salah satu yang tidak yakin di dalam dirimu. Gali lah, dan kendalikan itu,
jangan dibiarkan untuk kemudian bisa saja menjadi ganas memakan keyakinanmu
terhadap suatu hal,” sekarang X mulai merasa antusias dan sama-sama memiliki
ketidakteraturan detak jantung.
“Aku
ingin bersamamu jika kamu sama berkehendak,” Y memberanikan diri.
Seraya
berdoa sekilas untuk menyambar jawaban Y, kini X merasa siap walaupun
ketidaksiapan masih sibuk mengganggu pikiran. Dia menjawab mantap dengan penuh
keinginan yang besar untuk bersama Y.
“Berserah
diri pada diri sendiri dan padamu, jika engkau yakin, wahai orang baru, aku
bersedia. Tembok kita sudah sama-sama runtuh. Tiada sekat lagi menghalangi,
sekalipun itu sekat yang tidak terlihat,” suaranya mulai bergetar, X tetap
menegakkan kepalanya.
“Kamu
benar, aku menginginkanmu. Sekarang masuklah ke wilayahku sepuas mungkin.
Bermain lah, jadikan duniaku sebagai tempat bermain namun bukan untuk
mempermainkan. Niscaya selal ada balasan pada setiap perbuatan kita,” Y mulai
meneteskan air mata, namun ia tidak menyadari setelah bibirnya merasakan asin
dari cairan matanya.
“Benarkah
kita kembali mencinta setelah sebelumnya digagalkan karena mencintai? Aku harap
ini nyata walaupun aneh, percayalah, dunia memang aneh dan tidak akan pernah
terasa tidak aneh,” jawaban X sambil bergurau itu membuat Y tersenyum lebar
sampai menampakan barisan giginya.
Sejauh
mata memandang mereka saling berkunjung dan menganggap wilayah mereka itu satu.
Tidak ada batasan pengaman namun tetap menghormati aturan dan larangan.
Perasaan mereka saling beradu menggelora, api cinta yang hangat sekaligus
menyejukkan. Mereka memperkokoh pertahanan wilayah untuk disatukan, tidak lagi
disekat.
Orang
asing bukan berarti tidak mungkin membobol kemudian mengganggu. Pertahanan
mereka kembali pada diri sendiri. Kepercayaan adalah kekuatan, kejujuran adalah
keikhlasan, keterbukaan sesama adalah keniscayaan. Mereka telah memulai
petualangan baru, pijakan kuat memegang erat, dan landasan stabil menghindari
berpikir labil.
Terkadang
mereka meneteskan air mata bukan karena cengeng atau tersakiti. Kerinduan
terpisah jarak terasa begitu berat. Namun mereka ingin selalu ingat sudah
memeluk sebuah hati. Cita-cita mereka ke depan berharap agar semua rancangan
tak dapat diralat.
Comments
Post a Comment